Peneliti: Yayu Heryatun dan Tri Ilma Septiana
Sektor pariwisata berkontribusi sebagai penyumbang devisa terbesar kedua Indoensia setelah kelapa sawit dan menjadi inti perekonomian (core economy) negara(Maharani & Mahalika, 2020; Raharjana, 2012). Kontribusi sektor parwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2019 yaitu sebesar 4,8%, jumlah ini meningkat 0,30 poin dari tahun sebelumnya yaitu 4,5% (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2020). Peningkatan ini didukung oleh meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik serta bertambahnya jumlah investasi di sektor pariwisata (B. A. Utami & Kafabih, 2021). Selain itu, sektor pariwisata juga merupakan usaha padat karya (labour intensive) dimana 13,8 juta lapangan pekerjaan disediakan oleh sektor pariwisata atau setara dengan 1 dari 9 pekerjaan yang tersedia di Indonesia (Pambudi et al., 2020; Sanaubar et al., 2017; Surwiyanta, 2021).
Namun, pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada awal tahun 2020 berdampak sistemik pada seluruh aspek kehidupan termasuk sektor pariwisata. Karena sektor ini selain menyerap lebih dari 13 juta tenaga kerja namun juga memiliki dampak turunan (multiplier effect) yang terbentuk dibawahnya seperti transportasi, travel, penyedia akomodasi, pengolahan makanan dan minuman, reparasi motor dan mobil, pergudangan, serta perdagangan besar dan eceran (Aji et al., 2018; Anggarini, 2021).
Merespon kondisi pandemi Covid-19, berbagai paket kebijakan telah digelontorkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengakselerasi kinerja sektor pariwisata agar kembali dapat menarik kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Untuk mendukung berbagai paket kebijakan tersebut, Kemenparekraf juga telah mengeluarkan beberapa langkah strategis untuk memulihkan sektor pariwisata. Adapun langkah-langkah tersebut antara lain: (1) mempersiapkan destinasi wisata; (2) membangun infrastruktur konektivitas yang kompetitif dengan negara- negara lain; (3) implementasi dan monitoring penerapan protokol CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability) di daerah; (4) menciptakan dan membangun daya tarik wisata; (5) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kerja ekonomi kreatif; dan (6) meningkatkan kuantitas dan kualitas produk ekonomi kreatif.
Dari langkah strategis diatas, peningkatan kualitas SDM pramuwisata menjadi fokus utama dari studi ini. Karena SDM memiliki peran yang vital dalam mengembangkan industri
pariwisata di suatu daerah (Eka Atmaja & Ratnawati, 2020; Nandi, 2016; Setiawan, 2016). Oleh karena itu, Pendidikan atau pelatihan kepariwisataan menjadi salah satu elemen terpenting dalam mengembangkan potensi kepariwisataan di suata kawasan wisata, karena sektor pariwisata membutuhkan pekerja yang terampil.
Secara terperinci, studi ini bertujuan untuk: (1) memberikan pelatihan bahasa Inggris kepada pramuwisata pemula yang tergabung dalam HPI Kota Serang dengan materi pembahasan yang bersifat tematik seperti: the latest trend of the tourism industry, pick up tourist at the airport, booking hotel, guiding tourist in destinations and shopping centre, restaurant reservation, dan handling tourist complaints; (2) memberikan pengetahuan yang holistik kepada pramuwisata pemula khususnya yang berkenaan dengan new trend of tourism industry and hospitality di masa Pandemi Covid-19.
Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini memanfaatkan penelitian partisipatif berbasis masyarakat (Community Based Participatory Research, CBPR) karena model penelitian ini memungkinkan terjadinya kolaborasi antara dunia pendidikan dan komunitas dalam suatu kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan bersama (Susilawaty et al., 2016). Pemilihan CBPR juga didasari dari persoalan rendahnya kompetensi bahasa Inggris pramuwiswa yang berada di bawah naungan HPI Banten. Berdasarkan hasil interview dengan Chatibul Umam, Ketua HPI Banten (02/06/2022) diperoleh informasi yaitu “dari 79 tour guide yang tergabung di HPI Banten, mungkin hanya 50% saja yang dapat berbahasa Inggris dengan baik dan fasih”.
Pada dasarnya, kegiatan pelatihan English for Tourism yang telah diberikan selama enam pekan hanya bersifat pelengkap (compelemtary) kompetensi pramuwisata lainnya (e.g., pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Oleh karena itu, untuk dapat diakui sebagai pramuwisata profesional bertaraf nasional, pramuwisata harus mengikuti tes kelayakan yang dilakukan oleh Badan Nasional Akreditasi Profesi Pramuwisata Nasional (Lewier et al., 2021). Namun, pelatihan tersebut sedikit banyaknya telah berkontribusi dalam meningkatkan kemampuan bahasa Inggris pramuwisata pemula dalam penguasaan keterampilan komunikatif, pemahaman menyimak percapakan sederhana dan monolog singkat bahasa Inggris, penguasaan perbendaharaan kata, serta pengetahuan umum tentang seluk beluk tren industri pariwisata saat ini.
Ringkasnya, studi ini hanya terbatas pada pemberian pelatihan English for Tourism untuk meningkatkan kemampuan kompetensi Bahasa Inggris bagi pramuwisata pemula yang tergabung dalam HPI Banten. Namun, studi ini merekomendasikan kepada peneliti lainnya untuk mengadakan sebuah kajian industri pariwisata dari sudut pandang yang berbeda seperti keterlibatan generasi millennial dalam mempromosikan destinasi wisata melalui pembuatan konten digital yang menarik, upaya pemerintah dan swasta dalam mengembangkan model pariwisata alternatif di masa normal baru, pengembangan aplikasi pembayaran non-tunai (cashless) yang dapat diaplikasi dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, atau optimalisasi MICE dalam meningkatkan pendapatan daerah.