Peneliti: Elsi Ariani
Tanah longsor pada dasarnya terjadi jika gaya pendorong pada lereng memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan gaya penahannya. Umumnya gaya penahan ditentukan oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah, sedangkan gaya pendorong dipengaruhi dengan besarnya sudut pada lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Adapun faktor yang mempengaruhi tanah longsor adalah hujan, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan/erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, adanya bidang diskontinutas, pengundulan hutan, daerah pembuangan sampah (Rahmawati, 2009). Aktivitas manusia juga ikut memicu terjadinya longsoran ini. Ketika perbukitan/pegunungan tidak memiliki pohon yang memiliki akar kuat, maka daerah tersebut sering mengalami tanah longsor.
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu lokasi yang rawan mengalami tanah longsor. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pandeglang mengatakan bahwa setidaknya terdapat 18 wilayah di Kabupaten Pandeglang berpotensi longsor, yaitu Kecamatan Angsana, Cadasari, Carita, Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, Cikeusik, Cimanggu, Cipeucang, Jiput, Mandalawangi, Munjul, Panimbang, dan Picung. Potensi gerakan tanah atau longsor diperparah dengan terjadinya curah hujan di atas normal (tinggi).
Pada tanggal 7 Februari 2018 dalam Kabar Banten menyatakan bahwa telah terjadi longsor sepanjang 17 meter yang mengakibatkan Jalan Kaduengang, Kecamatan Cadasari terputus. Menurut penuturan warga lokasi longsor tersebut dekat dengan Pondok Pesantren dan jika tidak segera untuk diperbaiki maka akan membahayakan bangunan Pondok Pesantren tersebut. Berdasarkan dampak yang terjadi akibat tanah longsor, maka perlu dilakukan mitigasi bencana sebagai upaya meminimalisir dampak yang disebabkan oleh tanah longsor. Walaupun wilayah tanah longsor sudah terpetakan, namun bencana ini sulit diprediksi waktu dan kejadiannya karena terjadi secara tiba-tiba. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis bidang lincir tanah longsor lebih mendalam, sehingga masyarakat dapat bersiap menghadapi bencana ini.
Analisis bidang gelincir dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik. Bidang gelincir ditinjau dari nilai resistivitas pada tiap lapisan dan untuk mengetahui struktur dan pelapisan tanah bawah permukaan di daerah Kuduengang Kecamatan Cadasari. Eksplorasi geolistrik tahanan jenis dapat memberikan informasi variasi perubahan harga resistivitas arah vertikal dan lateral (Akmam: 2006: 194). Metode ini cenderung efektif digunakan dalam eksplorasi bersifat dangkal berkisar hingga 100 m.
Hasil yang diperoleh melalui metode ini yaitu merupakan pengukuran arus dan beda potensial pada tiap jarak elektroda yang telah ditentukan yang berguna dalam menentukan berbagai jenis harga tahanan jenis atau resistivitas lapisan di bawah titik ukur (sounding point). Penelitian ini menggunakan metode geolistrik konfigurasi schlumberger dengan menggunakan dua buah elektroda arus dan dua buah elektroda potensial dengan jarak spasi elektroda arus lebih besar jika dibandingkan elektroda potensial.
Menurut peta geologi wilayah penelitian yaitu di Desa Kaduengang Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang, wilayah ini termasuk pada kala Halosen dengan deskripsi batuan volcanic, breccia, lava, tuff, and undifferentiated lahar. Penelitian ini menggunakan alat IRES T300F dengan menggunakan 3 buah lintasan, yaitu lintasan satu terdiri daru titik GS1 dan GS2, lintasan dua terdiri dari titik GS3 dan GS4 serta lintasan ketiga terdiri dari titik GS5 dan GS6. Masing-masing lintasan berlokasi di Kampung Baru dan Kampung Mesjid. Data diperoleh secara langsung dan pengolahan data dibantu dengan software IP2Win.
Berdasarkan temuan yang didapatkan pada lokasi penelitian diperoleh nilai resistivitas maksimum dan minimum masing-masing lintasan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Dengan menggunakan software IP2Win kita dapat mencitrakan hasil pengukuran nilai resistivitas semu dari dua titik untuk setiap lintasan dan diperoleh penampang 2 dimensi, berikut hasilnya:
Berdasarkan gambar di atas dan data geologi di wilayah Kaduengang dapat digolongkan menjadi 3 lapisan batuan yang terjadi, yaitu lapisan lempung/clay yang tipis dengan nilai resistivitas 100 ohm meter di bagian atas, kemudian diikuti oleh lapisan batuan breksi dengan nilai resistivitas berkisar 180 ohm meter serta lapisan ketiga adalah shale atau batu serpih yang memiliki nilai resistivitas 650 ohm meter.
Berikutnya pada pseudo cross section lapisan kedua ditafsirkan lapisannya sebagai berikut: lapisan pertama merupakan lapisan clay/lempung dengan ketebalan hingga 12 meter dengan nilai resistivitas sebesar berkisar hingga 80 Ωm. Selanjutnya terdapat lapisan batuan breksi dengan nilai resistivitas berkisar 150 Ωm dengan ketebalan mencapai 8 m. Selanjutnya juga terdapat lapisan yang diperkirakan merupakan batuan shale dengan nilai resistivitas berkisar 162 Ωm dengan ketebalan 5 m.
Selanjutnya pada lintasan ketiga dapat diperkirakan lapisan sebagai berikut: berdasarkan pseudo cross section pada lapisan atas terdapat lapisan lempung/clay dengan nilai resistivitas 85 Ωm dengan ketebalan 5 m. Kemudian di bawah lapisan ini terdapat lapisan batuan dengan nilai resistivitas 100 Ωm yang diperkirakan merupakan batuan breksi dengan ketebalan mencapai 2 m. Di bawah lapisan ini dengan nilai resistivitas 580 Ωm dan ketebalan hingga 20 m diperkirakan merupakan lapisan shale/serpih.
Berdasarkan hasil interpretasi di atas maka dapat diperkirakan yang menjadi bidang gelincir adalah batuan breksi yang memiliki resistivitas berkisar 100 hingga 180 ohm meter. Batuan breksi merupakan salah satu batuan jenis sedimen klasik yang terbentuk dari pelapukan batuan beku. Butirannya lebih kasar dari 2 mm. Terdapat beberapa fenomena geologis yang dapat memicu proses pembentukan batuan breksi, diantaranya:
- Intrussion related breccia, merupakan pembentukan batuan breksi dengan gerakan instrusi magma yang menjadi penyebabnya,
- Strike, slip fault, related breccia adalah yang disebabkan oleh sesar yang relative mendatar,
- Discollusion collaps breccia, yaitu pembentukan batuan breksi dikarenakan adanya runtuhan di rongga gua (default, 2016).
Hal ini sesuai dengan peta geologi yang terdapat pada Desa Kaduengang yang merupakan batuan dari kala Holosen dan merupakan batuan vulkanik karena berlokasi di wilayah gunungapi tipe B yaitu gunung Karang.